Makalah Fiqih Pengertian dan Tujuan Ijma'

Oleh : Dyah Kurniasih

BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar Belakang
Untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh di luar apa yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an dan Hadits, para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada perbedaan metode ijtihad antara mujtahid satu dengan mujtahid yang lainnya.
Dalam makalah ini akan diterangkan dalil-dalil ijtihadi, yaitu dalil-dalil yang bukan berasal dari nash, tetapi dalil-dalil yang berasal dari akal, namun tidak terlepas dan ada hubungannya dengan asa-asas pokok agama Islam yang terdapat dalam nash. Yang termasuk dalil-dalil ijtihadi, ialah: (1) Ijma’, (2) Qiyas, (3) Istihsan, (4) Maslahah Mursalah, (5) istishab, (6) ‘Urf, (7) Syar’u Man Qablana, (8) Madzhab Shahabi, dan (9) Dzari’ah. Dan di dalam makalah ini kami akan membahas  tentang ijma’.

   B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari ijma’?
2.      Apa saja rukun dan syarat ijma’?
3.      Bagaimana kehujjahan ijma’?
4.      Bagaimana tingkatan ijma’?
5.      Apa saja landasan ijma’?
6.      Bagaimana kemungkinan terjadinya ijma’?

   C.    Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh, juga agar kita dapat mengetahui dalil dan metode hukum Islam. Saah satunya yaitu: Ijma’. Dan kita dapat mengambil manfaat setelah mengetahui dan mempelajari dalil dan hukum Islam tersebut.



BAB II
PEMBAHASAN
        
1. Ijma’
A. Pengertian ijma’
Kata ijma’ sacara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan “atau “kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, adalah”kesepakatan para mujtahid dari  kalangan umat islam tentang hukum syara’.[1]

B. Rukun dan Syarat Ijma’
v  Rukun-Rukun Ijma’
ü  Harus ada beberapa orang mujtahid yang melakukan kesepakatan dalam menetapkan hukum.
ü  Yang melakukan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia islam.
ü  Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum(syara’)dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
ü  Kesepakatan itu hendaklah merupakan keepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.[2]
v  Syarat-Syarat Ijma’
·  Memenuhi persyaratan ijtihad
·  Muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat dalam agama).
·Menghindarkan dari ucapan dan perbuatan bid’ah.[3]



   D.    Kehujjahan Ijma’

1.      QS.An-Nissa :115.

وَمَنْ يُشَا قِقِ الرَسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَنَ لَهُ الهُدَى وَيَتَبِحْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَ لِهِ مَا تَوَ لَى وَنُصْلِهِ جَهَنَمَ وَسَاءَ تْ مَصِيْراً. (النساء:      )
Artinya:
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sudah jelas kebenaran baginya ; dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.[4]
2.      Hadits Rasulullah, riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi
عَنْ ابْنُ عُمَرَ أَنَّ رَسُو لَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَا لَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي أَوْ قَا لَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضَا لَلَةٍ. (روه لترمذى)
Artinya:
“Dari Ibnu Umar, Rasulallah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku, atau beliau berkata umat Muhammad SAW atas kesesatan”. (HR. Tirmidzi)[5]

E.     Tingkatan Ijma’
            Tingkatan  Ijma’ adalah sebagai berikut:
§  Ijma’ Sharih adalah ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa mengemukakan pendapatnya tentag hukum tertentu secara jelas dan terbuka,baik melalui ucapan,tulisan, dan menghasilkan hukum yang sama.[6]
§  Ijma’ Sukuti adalah sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnnya , sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.[7]




E. Landasan Ijma’
Para ulama Ushul Fiqh mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum,antara lain:
1.      Qs. An-nisa 23
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan,saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

2.      Hadits riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
لاَتَجْتَمِحُ اُمَتِى عَلَى خَطَاءٍ. (روه ابوداودوالترمدى)
Artinya:    
“Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)[8]


F. Kemungkinan terjadinya ijma’
Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah saw sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:
-          Periode Rasulullah saw
Pada masa Rasulullah saw, beliau merupakan sumber hukum, jadi ijma’ ijma’ tidak diperlukan.
-          Periode Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq dan Khalifah Umar bin Khattab
Setelah Rasulullah saw wafat, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu: Al-QUr’an dan Al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka berijma’.
-          Periode sesudahnya
Setelah masa enam tahun kedua pemerintah Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin jika tidak terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.[9]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari  kalangan umat islam tentang hukum syara’. Ijma’ terdiri dari ijma’ sharih dan sukuti. Landasan ijma’ antara lain adalah terdapat pada  Qs. An-nisa :23,dan hadist riwayat Daud dan Tirmidzi. Dan kemungkinan terjadinya ijma’ antara lain pada masa Rasulullah,sahabat dan sesudahnya. Ijma’ memiliki rukun dan syarat tertentu. 

DAFTAR PUSTAKA

Kamal Muchtar, Kamal Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf, 1995
Syarifudin,Amir, Ushul  Fiqh ,Jakarta: Kencana,2009
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008



[1] Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Yogyakarta: PT Dana Bakti Wakaf, 1995, hal: 99-100
[2] Ibid, hal: 102-103
[4] Amir Syarifudin, Ushul  Fiqh ,Jakarta: Kencana,2009,hal 138
[5] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008, hal: 126
[6] Amir Syarifudin, Op.cit,hal 159
[7] Satria Effendi, Op. Cit, hal 129
[8] Kamal Muchtar, Op Cit, hal. 102
[9] Kamal Muchtar, ibid, hal: 103-105
subscribe

Subscribe

Monitor continues to update the latest from This blog directly in your email!

oketrik

0 komentar to Makalah Fiqih Pengertian dan Tujuan Ijma' :

Posting Komentar